Gunung Surowiti, sebenarnya tidak tepat juga jika dibilang gunung, sebab tingginya hanya 260 m dpl. Sedangkan, sebuah dataran tinggi dikatakan sebagai gunung jika tingginya lebih dari 600 m dpl. Di tengah cuaca Gresik yang terik menyengat, berada di atas gunung ini tidak lantas meredakan panas, kecuali karena rimbunnya pepohonan dan udara yang semilir. Tempatnya berjarak sekitar 40 km dari kota Gresik, tepatnya di desa Surowiti, Kecamatan Panceng.
Daerah ini
merupakan petilasan Sunan Kalijaga saat ia masih belum diangkat menjadi Sunan.
Ketika itu ia masih bernama Raden Said, mantan dedengkot “Brandal Lokajaya”
yang akhirnya bertobat. Menurut penuturan nenek-nenek perawat petilasan, ketika
Raden Said sedang mencari tempat untuk menenangkan diri, dia mencari gunung dan
menemukan gua. Dia lantas bersemedi di tempat yang kini disebut sebagai Gua
Langsih. Ketika dia sudah bergelar Sunan, beberapa benda pribadinya ditinggal
di tempat itu agar dia ingat di manakah dia dulu pernah bersemedi. Salah
satunya disimpan di dalam gua, sedangkan satunya lagi disimpan di tempat yang
kini didirikan sebuah bangunan "pesarean".
Sejak saat itu, Gua Langsih dikenal sebagai petilasan Sunan Kalijaga dan rajin dikunjungi tamu dari berbagai tempat untuk berdoa dan “ngalap berkah”. Hingga entah dari mana asal usulnya, kemudian muncul kabar yang mengatakan bahwa gunung ini merupakan tempat pesugihan dan tempat orang mencari tuyul. Tentu saja saya yang mendengarnya merasa miris. Peninggalan wali yang sangat dihormati oleh kaum Muslim malah dikaitkan dengan ritual mistik yang sangat jauh dari tuntunan Islam; tempat orang frustasi mencari pesugihan dan mengadopsi tuyul.
Sejak saat itu, Gua Langsih dikenal sebagai petilasan Sunan Kalijaga dan rajin dikunjungi tamu dari berbagai tempat untuk berdoa dan “ngalap berkah”. Hingga entah dari mana asal usulnya, kemudian muncul kabar yang mengatakan bahwa gunung ini merupakan tempat pesugihan dan tempat orang mencari tuyul. Tentu saja saya yang mendengarnya merasa miris. Peninggalan wali yang sangat dihormati oleh kaum Muslim malah dikaitkan dengan ritual mistik yang sangat jauh dari tuntunan Islam; tempat orang frustasi mencari pesugihan dan mengadopsi tuyul.
Menurut Gus
Wulyo , seorang musafir yang sekarang telah mendirikan Padepokan
Tauhid "Sri Tunggal Gading Kencana"yang berada kawasan itu menjelaskan, memang banyak orang yang datang ke Gunung Surowiti untuk berdoa. Kebanyakan di antaranya memohon agar mendapat rejeki dan kelancaran usaha. Mungkin karena kemudian doanya terkabul, mereka lantas jadi makin sering berkunjung untuk berdoa, bahkan tak jarang membawa teman dan kerabat untuk berdoa bersama.
Tauhid "Sri Tunggal Gading Kencana"yang berada kawasan itu menjelaskan, memang banyak orang yang datang ke Gunung Surowiti untuk berdoa. Kebanyakan di antaranya memohon agar mendapat rejeki dan kelancaran usaha. Mungkin karena kemudian doanya terkabul, mereka lantas jadi makin sering berkunjung untuk berdoa, bahkan tak jarang membawa teman dan kerabat untuk berdoa bersama.
Agaknya, inilah yang memunculkan anggapan
miring bahwa tempat ini adalah tempat pesugihan. Ditambah munculnya mitos yang
bermacam-macam mengenai batu bertuah di dalam Gua Langsih yang disebut “Sungu
Menjangan” atau berarti tanduk menjangan, semakin membuat orang penasaran dan
ingin membuktikan.
“Kalau dilihat dengan mata orang awam biasa, bentuknya ya batu biasa. Tapi entah, kalau kata orang-orang yang sakti, bentuknya jadi serupa tanduk menjangan”,ujarnya. Umumnya jumlah pengunjung meningkat drastis saat malam Jumat Legi dan bulan Suro (Muharram), bulan pertama dalam sistem penanggalan Jawa. Selama bulan ini, banyak orang berdoa dan bersemedi sebulan penuh. Yang paling sering datang berkunjung, tutur Gus Wulyo, adalah para kyai dari Lamongan. Namun tidak jarang pula ditemui kyai dari daerah lain. Entah kyai atau dukun dia juga tidak tahu pasti. Yang dia tahu. mereka umumnya datang berombongan atau membawa tamu dalam jumlah banyak.
“Kalau dilihat dengan mata orang awam biasa, bentuknya ya batu biasa. Tapi entah, kalau kata orang-orang yang sakti, bentuknya jadi serupa tanduk menjangan”,ujarnya. Umumnya jumlah pengunjung meningkat drastis saat malam Jumat Legi dan bulan Suro (Muharram), bulan pertama dalam sistem penanggalan Jawa. Selama bulan ini, banyak orang berdoa dan bersemedi sebulan penuh. Yang paling sering datang berkunjung, tutur Gus Wulyo, adalah para kyai dari Lamongan. Namun tidak jarang pula ditemui kyai dari daerah lain. Entah kyai atau dukun dia juga tidak tahu pasti. Yang dia tahu. mereka umumnya datang berombongan atau membawa tamu dalam jumlah banyak.
Lebih lanjut
lagi, Gus Wulyo mengatakan bahwa sebagian besar pengunjung yang datang memang
sering ber-nadzar atau mengucap janji agar doanya terkabul. Apabila
usahanya atau keinginannya terpenuhi, mereka harus menunaikan janjinya karena
janji tersebut dia ikrarkan kepada Ilahi. Apabila tidak dipenuhi, entah apa
yang akan terjadi.
“ Itu sebabnya di tak jauh dari sini ada sebuah tempat bernama Daran. Ketika saya tanya orang tua saya, itu kepanjangannya Penadaran. Di situlah tempat orang-orang jaman dulu ber-nadzar”, ujarnya lagi .
GuS Wulyo sangat percaya bahwa upaya yang gigih lah yang membuat doa dan keinginan para pe-nadzar bisa terkabul. Namun doa yang ditujukan kepada Tuhan dinilai lebih mudah terkabul jika dilakukan di tempat-tempat tertentu, terutama bekas peninggalan para wali.
Akan tetapi, kemudian banyak orang yang datang untuk tujuan
lain, dia tak bisa berbuat banyak selain mempersilakan mereka berdoa selama
tidak merusak. Menurutnya, apa yang dia lakukan sekarang dengan menjaga
kebersihan petilasan Sunan Kalijaga hanyalah upayanya merawat sejarah. (lk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar