Sejarah
mencatat, Islam di Indonesia menjalankan syiar dengan damai. Hal dimulainya pendekatan para ulama mencoba meng-islamkan masyarakat
nusantara ( pribumi) .
Pada
kenyataannya mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini suka memakan
manusia. Namanya aliran Bhairawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena
Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya
sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa .
Untuk
moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak
ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang.
Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa,
karena teringat kambingnya, hartanya. Lha... ini terus menjadi jenglot atau batara
karang. Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk
gagal moksa.
Akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah,
namanya ilmungrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini,
mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan
Pancamakara. Supaya bisa ngrogoh sukmo , semua sahwat badan dikenyangi,
laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging
manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas.
Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus. Supaya perut tenang, makan
tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika
sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo , ketika sukmanya pergi di ajak
mencuri namanya ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia
namanya santet .
Ketika
sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet . Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan
ngepet . 1500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang
Jawa. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka dari Turki Utsmani mengirim
kembali ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa, namanya Sayyid
Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian
di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir.
Di
Jawa ini di duduki Syekh Subakir, kemudian mereka diusir, ada yang lari ke
Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di
namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke
timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan).
Disana
mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro. Karena Syekh Subakir sepuh,
dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim
(Ibrahim Asmoroqondi), melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak
perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul
Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik. Sebagian lari ke Bali, sebagian
lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya
menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan
telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh
sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah . Maka kita punya adat
tumpengan.
Selanjutnya
itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin
al-Husaini al-Kabir. Mendarat di (daerah) Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan,
maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Disana punya murid namanya Syamsuddin,
pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang.
Punya murid
bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif
Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran.
Maka ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak
bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak
melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang
bertugas mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit
orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat
sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang
anda bisa ditebang. Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? . Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi
sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada . Syahadatain, jadi sekaten.
Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat.
Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa
tentang mati. Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati
(tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini
pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip.
Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi.
Bagaimana caranya? Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun
kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi .
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang.
Padahal,
sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . (LK/BERSAMBUNG)
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . (LK/BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar