Dalam
perkembangannya, tembang –tembang yang pakemnya sang ayahanda (Sunan AMPEL) dimodifikasi
oleh Sunan Bonang. Kok janggal, nyanyian tidak ada musiknya.
Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya
Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang
ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya
disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
Nah,
nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik,
naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru
illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham
kalau itu buatan Sunan Bonang.
Maka, kemudian, oleh LOKAJAYA ( Kanjeng Sunan
Kalijaga), dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh
dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil. Maksudnya: uripmu
mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah
(Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus
tertaut kepada Allah).
Oleh
LOKAJAYA, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi . Oleh
Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika
tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah
tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir , tandurku iki wis
sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing.
Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, simbol:
kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek
blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.
Akhirnya
ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda.
Disana, shalat ‘imaadudin , lha shalat disini, tanamannya berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah
duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebung,
angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu,
tunggu,
kok tidak datang-datang. Padahal tugas imam adalah menunggu makmum. Ditunggu memakai pujian.
Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana ..
kok tidak datang-datang. Padahal tugas imam adalah menunggu makmum. Ditunggu memakai pujian.
Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana ..
Para
makmum buruan masuk. Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama.
Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allau Akbar ,
matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada
penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah,
ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah .
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya
gedek-gedek , geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho
, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini,
di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaanya dilantunkan dengan keras,
agar makmum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian,
dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana.
Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa
bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:
kanjeng Nabi Muhammad,
lahir ono ing Mekkah,
dinone senen, rolas mulud tahun gajah .
Inilah cara ulama-ulama dulu mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. (LK/BERSAMBUNG)
kanjeng Nabi Muhammad,
lahir ono ing Mekkah,
dinone senen, rolas mulud tahun gajah .
Inilah cara ulama-ulama dulu mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. (LK/BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar